28
Moderasi beragama menjadi kajian penting di tengah keberagaman, termasuk bagi masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kajian ini pula yang diangkat oleh Lembaga Pengkajian dan Penerapan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Jakarta (LPP AIK UMJ).
Baca juga : Ustaz Adi Hidayat: Islam Tidak Anti dengan Seni
Pada Kamis (05/09/2024), LPP AIK UMJ menghadirkan Syaikh Al-Azhar Mesir Dr. Muhammad Hussaini Al-Azhari dan Ulama Dr. Adi Hidayat, Lc., MA., dalam Kuliah Umum di Aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UMJ. Kuliah umum mengusung tema “Moderasi Beragama dalam Tuntunan Syari’at Islam di Era Post Modern”.
Berdasarkan penjelasannya yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ustaz Adi Hidayat (UAH), untuk mengetahui konsep moderasi beragama pembahasan dapat dimulai dari perjalanan Nabi Muhammad.
Dakwah Rasul di Kota Makkah menampakkan wajah moderasi beragama. Sifat dan sikap Muhammad saat mendapatkan perlakuan dari masyarakat Makkah pada saat itu berupa persekusi, intervensi, hingga kontak fisik adalah wajah moderasi beragama. Bahkan perlakuan ekstremisme itu juga menimpa saudara, sahabat, dan keluarganya.
Syaikh Hussaini menegaskan, sebelum menyampaikan banyak teori tentang moderasi, Muhammad telah lebih dulu mempraktikkan dengan sifat kasih sayang, kelembutan, dan perhatian.
Teori dan konsep moderasi beragama tegas tercantum dalam Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam. Syaikh Hussaini menegaskan, umat Islam hanya perlu mengikuti dan mengimplementasikannya di kehidupan sehari-hari.
Muhammad konsisten melakukan praktik moderasi beragama tidak hanya di fase Makkah tapi juga fase Madinah. Kondisi kota yang sebelumnya bernama Yastrib itu tertinggal, kotor, banyak penipuan di pasar, banyak perilaku menyimpang.
Pada saat itu yang dilakukan Muhammad ialah memperbaiki kondisi tersebut dengan praktikal konteks moderasi beragama dalam syariat Islam.
“Beliau datang dengan kasih sayang dan kelembutan sehingga fase pertengahan menuju puncaknya, di tahun ke-6 hijrah, Muhammad melakukan satu gerakan luar biasa, menginisiasi perdamaian Hudaibiyah,” kata UAH menerjemahkan pemaparan Syekh Hussaini.
Perjanjian Hudaibiyah menampikan praktik-praktik dan nilai-nilai moderasi beragama dalam tuntunan Islam. Saat itu dihadirkan sikap saling menghormati, menyayangi, dan melindungi. Dalam konteks itu, Muhammad diantarkan pada kemenangan hakiki.
Ustaz Adi Hidayat menambahkan, itu dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Fath. Allah Swt. membekali Muhammad bukan dengan senjata maupun kekuatan, melainkan Allah mengajarkan sikap-sikap luar biasa. Sikap-sikap seperti pemaaf, wasathan, tidak berlebihan, proporsional yang kemudian disempurnakan.
“Semua praktik itu mengantarkan pada kemenangan, keagungan, kehebatan, kemuliaan. Puncaknya semua teori itu, Islam sudah mempraktikkan dalam konteks praktik sesungguhnya,” kata UAH menerjemahkan pemaparan Syekh Hussaini.
Syekh Hussaini juga menegaskan, moderasi beragama itu harus sesuai dalam persepsi keyakinan kita sebagai umat Islam, bukan persepsi keyakinan orang lain. “Ingat moderasi dalam praktik pedoman agama kita, bukan keyakinan orang,” tegas UAH.
Kuliah umum disambut baik oleh Rektor UMJ Prof. Dr. Ma’mun Murod Al-Barbasy, M.Si. Menurutnya kehadiran Syaikh Hussaini dan UAH adalah sebuah kebanggan bagi UMJ terlebih membahas terkait moderasi beragama.
Dalam konteks kehidupan bernegara, Indonesia telah menjadikan Pancasila sebagai bentuk moderasi. Namun, ia menilai praktik moderasi beragama di Indonesia masih penuh dengan kepura-puraan dan dibuat-buat. Salah satunya larangan anggota Paskibraka menggunakan hijab.
Berbeda dengan Muhammadiyah yang telah menunjukkan praktik moderasi beragama melalui amal usah yaitu sekolah dan rumah sakit.
Kegiatan yang merupakan kerja sama Quantum Akhyar Institut dan UMJ ini diikuti oleh lebih dari 100 peserta terdiri dari mahasiswa, dosen, dan masyarakat umum.
UMJFEED