107
Pendidikan di Indonesia mengalamai permasalahan yang serius. Bahkan Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof. Dr. Ma’mun Murod Al-Barbasy, M.Si., menyebut permasalahan pendidikan di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa hal yang menghulu ke politik.
Baca juga : Rektor UMJ Kunjungi Unissula Bahas Sinergi Perguruan Tinggi Swasta
Menurut Ma’mun, terdapat tiga hal yang jadi masalah pendidikan di Indonesia yaitu politik, feodalisme, serta bias pendidikan antara swasta dan negeri. “Kalau kita ambil secara garis besar problem hulunya ada di politik kita akhirnya membuat pendidikan carut-marut,” ungkap Ma’mun
Demikian dijelaskan olehnya dalam diskusi MAARIF House bertajuk “Quo Vadis Pendidikan Indonesia: Pendidikan Merdeka atau Punya Mereka, di Kantor MAARIF Institute, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (8/8/2024).
Ma’mun menyoroti kebijakan politik yang liberal dan berbiaya mahal menimbulkan persoalan pendidikan seperti biaya pendidikan mahal, beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang bermasalah, dan sebagainya. Ia lantas mencotohkan persoalan KIP diperoleh melalui jalur aspirasi yang diputuskan oleh parlemen.
Jalur aspirasi menyebabkan adanya penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi. Banyak yang akhirnya menjual kuota KIP bahkan mematok harga tertentu per semester.
“Memang beberapa kampus sudah terjerat hukum, namun pada praktiknya masih berlangsung, ini didasari persoalan politik,” terangnya. Lebih lanjut, ia juga menyesalkan pemberian dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang hanya berkisar 20%.
“Harusnya bisa naik lagi artinya itu bisa berkisar lebih dari 3300 triliun, ada angka sisa sekitar 660 triliun. Namun, perlu kita tanya siapa yang menikmati apakah benar khusus untuk masalah pendidikan?,” terangnya.
Selain itu, feodalisme juga menurut Ma’mun merasuk ke dalam pendidikan. Kondisinya saat ini, banyak orang mampu lebih memilih anaknya berkuliah di kampus negeri, bahkan mengusahakan segala cara melalui jalur mandiri.
Sisi lain, anak yang memiliki ekonomi menengah ke bawah memilih kampus murah untuk sekadar mendapat gelar. Kondisi itu memunculkan kesenjangan. Kampus-kampus medioker tidak terpiih dari dua sisi tersebut. Bahkan kampus yang dikelola secara serius, kata Ma’mun, sulit mendapatkan mahasiswa.
Ia mengatakan, keadaan tersebut juga didorong dengan adanya bias pendidikan antara negeri dan swasta. Pemerintah seharusnya menjadikan kampus swasta menjadi mitra, tapi saat ini yang terjadi malah menjadi rival.
“Padahal kampus dan sekolah swasta begitu banyak, malah lebih memilih untuk mendirikan yang baru. Seharusnya mereka semua diberdayakan, karena biayanya akan jauh lebih murah ketimbang mendirikan kampus baru,” pungkasnya.
Dalam pengantarnya, Direktur Eksekutif MAARIF Institute Andar Nubowo mengatakan, MAARIF House adalah upaya merealisasikan gagasan besar Buya Syafii Maarif terkait konsep keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Hal tersebut dilakukan melalui pendekatan dengan berbagai lini sektor baik publik, korporasi, akademisi, hingga kaum intelektual.
“Kami berharap program ini dapat menjadi ruang bagi para pemangku kepentingan untuk berdialog, bertukar gagasan, serta dapat menemukan solusi atas berbagai persoalan-persoalan krusial yang berkembang di masyarakat,” ujar Andar Nubowo.
Diskusi MAARIF House kali ini merupakan gelaran ke-2 dihadiri 8 narasumber dari berbagai lini sektor. Mereka adalah Almich Alhumami, Ph.D (Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan kementerian BAPPENAS), Clara Joenowo (Centre for Strategic and International Studies Indonesia), Ellin Driana, Ph.D (Akademisi Universitas Muhammadiyah Prof.Dr. Hamka), Gogot Suharwoto, Ph.D (Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek), Muhammad Adlin Sila, Ph.D (Staff Ahli Kemendikbudristek).
Hadir pula narasumber, Romo Odemus Bei Witono, SJ (Direktur Perkumpulan Strada), Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA (Ahli Utama Kantor Sekretariat Presiden RI), Syafiq Hasyim, Ph.D (Wakil Rektor I Universitas Islam Internasional Indonesia), serta Pdt.Sylvana Maria Apituley, M.Th (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia).
Editor: Dinar Meidiana
UMJFEED