Keterlibatan peran perempuan dalam kasus radikalisme dan ekstremisme di Indonesia meningkat. Oleh karena itu, perspektif gender perlu menjadi landasan utama dalam merumuskan RAN PE (Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme) Jilid 2.
Baca juga : Dosen FISIP UMJ Sosialisasi Konsep Reparasi Bagi Korban Terorisme
Hal ini ditegaskan oleh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ) Debbie Affianty, M.Si., dalam forum bertajuk “Konsultasi Masyarakat Sipil Menuju RAN PE Periode 2025-2029” secara daring, Rabu (26/6/2024).
Debbie menerima undangan sebagai peneliti di Laboratory of Indonesian and Global Studies (LIGS) FISIP UMJ yang aktif pada isu perempuan dan terorisme. Forum ini diselenggarakan oleh The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia.
Dalam forum ini, Debbie menyampaikan tren keterlibatan perempuan dalam isu radikalisme dan ekstremisme lima tahun ke depan. Data menunjukan, sejak 2018 hingga sekarang keterlibatan perempuan dalam kedua isu tersebut meningkat.
Menurutnya, peningkatan terjadi akibat perempuan tidak lagi dianggap sebagai pemberi dukungan, melainkan sebagai aktor utama. Mereka ikut mencari anggota, berlatih merakit senjata, bahkan melakukan bom bunuh diri.
Perempuan menjadi subjek yang mudah terpapar ekstremisme dan radikalisme. Paparan itu di antaranya bisa melalui anggota keluarga, kelompok keagamaan, serta pengaruh internet. “Jalur-Jalur ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah dalam pembuatan kebijakan melalui rancangan RAN PE Jilid 2,” ucap Debbie.
Debbie melanjutkan, para pelaku juga tersebar di berbagai bidang pekerjaan mulai dari Aparatur Sipil Negara (ASN), pengusaha, akademisi, Ibu rumah tangga, maupun pekerja imigran.
“Kasus yang melibatkan perempuan, ada yang didorong oleh keinginan sendiri karena terpapar internet. Ada pula yang menjadi korban cuci otak dari anggota keluarganya. Mereka juga mempunyai peran masing-masing dalam perekrutan anggota melalui bidang pekerjaannya,” lanjut Debbie.
Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan upaya pencegahan. Mereka tidak akan berhenti melakukan perekrutan, pendanaan, serta propaganda untuk menarik dukungan dari masyarakat umum, terutama perempuan sebagai target terlemah.
Ia menegaskan, cara pencegahan yang dilakukan melalui rancangan RAN PE tetap memperhatikan perspektif gender. Pencegahan itu diorientasikan berdasarkan pengalaman, cara berpikir, dan pengaruh yang dilakukan oleh para pelaku terhadap perempuan.
Ungkapan senada juga dikatakan Ketua Poka Tematis RAN PE Rubby Khofifah bahwa perspektif gender penting dalam implementasi RAN PE dan perlu diintegrasikan secara menyeluruh.
Penelitian sering kali abai terhadap perspektif gender, padahal kekerasan berbasis gender eksis dalam ekstremisme kekerasan di Indonesia. “Implementasi RAN PE harus lebih peka terhadap kepentingan perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya,” jelas Rubby
Forum ini merumuskan rekomendasi penting terkait sembilan bidang program yang akan menjadi fokus pilar RAN PE 2025-2029. Rekomendasi yang dihasilkan menjadi landasan untuk merancang program yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Narasumber lainnya yang menghadiri forum ini di antaranya Direktur Eksekutif dan Peneliti Senior di Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) M. Adhe Bhakti dan Weti Deswiyati, Kasubdit Kerjasama Multilateral Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT).
Editor: Dinar Meidiana
Artikel Forum RAN PE: Perspektif Gender Perlu Jadi Landasan Utama Pencegahan Ekstremisme pertama kali tampil pada Universitas Muhammadiyah Jakarta.
UMJFEED