22
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ) Debbie Affianty, M.Si., mensosialisasikan hasil riset yang berjudul “Reparasi Bagi Korban Terorisme”.
Debbie mempresentasikan hasil riset dalam kegiatan peluncuran buku pemetaan pengalaman perempuan terdampak aksi terorisme oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di Hotel Santika, Depok, Sabtu (25/6/2024).
Baca juga : Di Indonesia dan Bangladesh Penanganan Radikalisme sama Pentingnya dengan Program Deradikalisasi
Dalam acara peluncuran ini, Komnas Perempuan merilis buku yang diperoleh dari 4 kajian, salah satunya yang diteliti Debbie bersama Direktur Society against Radicalism and Violent Extremism (SeRVE) Dete Aliah tentang konsep reparasi.
Debbie menjelaskan, sebuah data menunjukan sepanjang tahun 2000 hingga 2022 terdapat 563 orang meninggal dan 1.051 orang luka akibat bom bunuh diri. Namun, korban yang terdampak aksi terorisme belum mendapatkan pemenuhan pergantian kompensasi.
Pemenuhan hak itu sudah tertuang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan aksi terorisme. UU itu diturunkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.35 Tahun 2020 mengatur pemberian kompensasi bagi korban.
Hak ini dikenal dengan istilah reparasi (pemulihan) mencakup hak untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan langkah-langkah kepuasan. Selain itu, korban terorisme juga memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan bantuan, termasuk dukungan fisik dan psikologis, akses ke layanan kesehatan, dan bantuan sosial dan ekonomi.
“Hak ini sangat penting bagi korban untuk pulih dari kerusakan serta penderitaan yang diakibatkan oleh terorisme,” ungkap Debbie
Debbie, dosen yang aktif pada isu perempuan dan terorisme ini menyoroti belum optimalnya pemenuhan hak reparasi yang didapatkan oleh korban terorisme. Ia mengatakan selama ini korban terorisme di luar wilayah Indonesia jarang disinggung pemerintah.
“Padahal dalam peraturan pemerintah ada tiga jenis korban yang berhak mendapatkan kompensasi yaitu korban masa lalu, akan datang, dan terorisme di luar wilayah Indonesia,” terang Debbie.
Masih ada 600 warga Indonesia pendukung kelompok teror tersebut baik laki-laki, anak-anak dan perempuan yang masih berada di Suriah menunggu untuk dipulangkan. Proses pemulangan adalah kewajiban negara dan sampai saat ini, mereka belum mendapatkan penggantian kompensasi.
Kerugian korban dapat dikategorikan pada dua jenis yaitu korban yang mendapat kerugian langsung berupa luka fisik, dan kerugian tidak langsung yang dialami oleh anggota keluarga. Kerugian tidak langsung dapat berupa gangguan psikologis, sosial atau ekonomi.
Debbie menerangkan, masih banyak korban tidak berani muncul untuk melapor. Keadaan itu menambah daftar pajang korban yang berlum terjamah haknya.
Peneliti Laboratory of Indonesian and Global Studies (LIGS) FISIP UMJ ini berpendapat, pemerintah harus proaktif terhadap pemenuhan hak reparasi bagi korban. Hal ini ditunjukkan dengan tidak lagi menunggu adanya pelaporan.
“Negara perlu mensosialisasikan dan menyediakan dana kompensasi kepada korban terorisme untuk menganti kerugian mereka baik ekonomi, medis, psikososial, dan psikologis,” ungkapnya.
Debbie menekankan pentingnya konsep gender dalam pemenuhan hak reparasi. Perspektif gender dalam reparasi hak korban terorisme merupakan pengakuan atas dampak yang berbeda antara perempuan dan laki-laki akibat insiden tersebut.
Ia mencontohkan perempuan kerap lebih banyak mendapatkan tekanan baik struktural maupun kultural di masyarakat. Oleh karena itu, reparasi harus mempertimbangkan kebutuhan spesifik gender dengan berupaya menjamin program bersifat inklusif, tidak memihak dan responsif terhadap kebutuhan dari para korban.
“Ketidaksetaraan gender dapat berakibat memperparah derita yang dialami oleh korban,” tutupnya.
Acara ini dihadiri Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Badan Nasional Penganggulangan Terorisme (BNPT), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Komnas Perempuan dan Organisasi Masyarakat (Ormas).
Editor: Dinar Meidiana
UMJFEED