Jakarta, 9 Januari 2021 – Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Filsafat Kepemimpinan Jawa
Bicara kepemimpinan Jawa adalah hal yang menarik, karena banyak mitos serta simbolik yang berlaku. Kempemimpinan dalam tatanan Jawa sendiri berkaitan dengan kesejajaran antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam hal ini pemimpin tidak hanya menempati strata sosial yang tinggi tetapi harus berada di puncak supranatural. Kepemimpinan itu disebut dengan “ HASTA BRATA ”.
Kata HASTA BRATA berasal dari kitab Hindu kuno berbahasa Sanskerta MANAWA DHARMA SASTRA. Hasta yang berarti delapan dan Brata yang berarti perilaku atau tindakan pengendalian diri. Jadi Hasta Brata melambangkan kepemimpinan yang dikaitkan dengan delapan unsur alam, Setiap unsur alam itu mengartikan karakteristik dari seorang pemimpin yang ideal.
Ilmu Hasta Brata tergolong ajaran yang sangat tua, mulai diperkenalkan melalui lakon pewayangan Wahyu Makutharama. Wayan Susetya dalam bukunya “Kepemimpinan Jawa” melukiskan kehebatan ilmu Hasta Brata ini sedemikian rupa sehingga dua orang titisan Bathara Wisnu; Sri Rama WIjaya (Raja Ayodya) dan Sri Bathara Kresna (Raja Dwarawati) menjadi raja yang besar. Sri Bathara Kresna kemudian menurunkan ilmu ini kepada Arjuna. Dengan Ilmu Hasta Brata ini pulalah Arjuna mampu melakukan koreksi terhadap kepemimpinan Dasa Muka yang dikenal arogan dan angkara murka.
Ketika agama Islam memasuki pulau Jawa, nilai-nilai luhur para dewa sebagai unsur Hasta Brata pun disesuaikan dengan prinsip Islam. Pengaruh Islam sebagai agama monoteisme mengubah konsep dewa-dewa di Hasta Brata menjadi delapan unsur alam. Keberadaan Hasta Brata sebagai kearifan lokal muncul dalam beberapa kitab kuno dan naskah. Transformasi sifat-sifat dewa menjadi delapan unsur alam sendiri tercatat dalam naskah Pustakaraja Purwa. Delapan unsur alam tersebut adalah ;
MAHAMBEG MRING BHUMI (Meniru Sifat Bumi), adalah memberikan tempat hidup bagi manusia, hewan dan tumbuhan. Dalam konteks kekinian, sifat Bumi ini dapat diterjemahkan menjadi sifat seorang yang suka memberikan perhatian kepada fakir miskin, dan kaum lemah. Seorang pemimpin yang menguasai sifat Bumi akan mengarahkan kekuasaannya untuk kegiatan-kegiatan kemanusiaan.
MAHAMBEG MRING SURYO (Meniru Sifat Matahari), adalah menjadi sumber energi yang memberi kekuatan untuk menyokong kehidupan. Matahari memberikan kekuatan pada makhluk hidup yang ada di bumi. Dalam konteks kekinian, seorang pemimpin yang menguasai sifat Matahari dapat memberikan inspirasi dan semangat kepada rakyat atau anggotanya untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi. Pemimpin yang menguasai sifat Matahari adalah ia yang siap membela orang yang tertindas. Sifat pemimpin seperti ini diilustrasikan dalam kisah Khalifah Umar bin Khatab yang “marah” ketika menemukan seorang warga yang tanahnya akan digusur Gubernur Mesir secara semena-mena. Seketika Khalifah Umar mengirimkan sepotong tulang yang digores pedangnya sebagai peringatan agar Gubernur Mesir tidak semena-mena terhadap rakyatnya.
MAHAMBEG MRING CONDRO (Meniru Sifat Bulan), adalah menjadi sumber cahaya bila malam tiba. Dengan demikian, hakekatnya Bulan adalah sang penerang mahluk hidup dari kegelapan di bumi. Dalam konteks kekinian, seorang pemimpin yang menguasai sifat Bulan adalah ia yang mampu menjadi penuntun dan memberikan pencerahan kepada rakyat atau pun anggotanya. Oleh karena itu pemimpin seperti ini memahami dan mengamalkan ajaran luhur yang terkandung dalam agama (religiusitas) dan menjunjung tinggi moralitas. Sifat bulan ini diterapkan oleh raja-raja Mataram, salah satu tandanya adalah dengan memberikan status/posisi kepada Sultan Hamengku Buwono sebagai Senopati Ing Ngalogo Ngabdurohman Sayidi Panoto Gomo Kalifatullah. Dalam konsepsi Jawa, seorang pemimpin adalah sekaligus berfungsi sebagai ulama.
MAHAMBEG MRING SAMUDRO (Meniru Sifat Samudra), adalah luas dan lapang sebagai simbol dari kelapangan dada dan keluasan hati. Dalam konteks kekinian seorang pemimpin yang menguasai sifat Samudra akan mampu menerima kritikan dengan lapang dada, siap diberi saran sekalipun itu oleh bawahannya. Ia tidak akan melihat siapa yang berbicara, tetapi apa yang dibicarakan. Ia akan menyediakan waktu dan selalu terbuka untuk menampung keluhan rakyatnya. Sifat Samudra ini juga tercermin dalam praktek kepemimpinan raja-raja Mataram dengan memberikan kesempatan kepada rakyatnya untuk mengajukan protes kepada Raja melalui budaya pepe, yaitu berjemur di alun-alun sampai Raja menemui dan mendengarkan keluhan mereka.
MAHAMBEG MRING KARTIKO (Meniru Sifat Bintang), adalah melukiskan posisi yang tinggi. Pemimpin yang menguasai sifat Bintang dalam konteks kekinian adalah pemimpin yang memiliki kepribadian mulia sehingga menempati posisi (maqam) yang terhormat dan dihormati. Singkat kata, rakyat mencintainya sedangkan lawan menyeganinya.
MAHAMBEG MRING MARUTO (Meniru Sifat Angin), adalah dapat masuk (menyusup) ke segala tempat. Sifat Angin dalam khasanah filsafat Jawa ini diartikan sebagai suatu bentuk ketelitian dan kehati-hatian. Dan dalam konteks kekinian pemimpin yang menguasi sifat Angin adalah ia yang selalu terukur bicaranya (tidak asal ngomong), setiap perkataannya selalu disertai argumentasi serta dilengkapi data dan fakta. Dengan demikian pemimpin yang menguasai sifat Angin ini akan selalu melakukan check and recheck sebelum berbicara atau mengambil keputusan.
MAHAMBEG MRING DAHONO (Meniru Sifat Api), adalah membakar apa saja, tanpa pandang bulu. Besi sekalipun bisa leleh dengan Api. Dalam khasanah filsafat Jawa, Api dimaknai secara positif sebagai simbol dari sifat yang tegas dan lugas. Dalam konteks kekinian, seorang pemimpin yang menguasai sifat Api adalah ia yang cekatan dan tuntas dalam menyelesaikan persoalan. Juga selalu konsisten dan objektif dalam menegakkan aturan, tegas tidak pandang bulu dan objektif serta tidak memihak. Secara ilustratif, pemimpin yang menguasai sifat Api ini digambarkan dalam kisah seorang Raja yang dengan tegas menghukum cungkil satu mata kepada anaknya sendiri, tetapi setelah itu ia menyerahkan satu matanya untuk mengganti mata anaknya yang sudah di cungkil tersebut. Demikianlah, seorang pemimpin yang menguasai sifat Api, ia dapat membedakan antara penegakkan hukum dan kasih sayang terhadap keluarga.
MAHAMBEG MRING TIRTO (Meniru Sifat Air), Berbeda dengan Samudra yang lebih mewakili sifat luas (lapang) hati, Air memiliki sifat yang selalu mencari tempat yang rendah. Begitu pula pemimpin yang menguasai sifat Air, ia akan selalu rendah hati dan tidak sombong apalagi semena-mena kepada rakyatnya.
Idealnya, Hasta Brata harus dimiliki oleh seorang pemimpin sehingga sebagai Pemimpin dia bisa memberikan kesejukan dan ketentraman kepada rakyatnya/warganya, membasmi kejahatan dengan tanpa pandang bulu, bijaksana, sabar, dan ramah. Mampu melihat, mengerti, dan menghayati keberadaan dan keadaan rayatnya. Seorang Pemimpin harus mampu memberikan kesejahteraan pada rakyatnya dan menjadi pelita bagi rakyatnya.
Seperti umumnya filsafat, ajaran Hasta Brata sepatutnya menjadi landasan kebathinan yang memberi motivasi kepada kita, khususnya bagi mereka yang meyakini ajaran filsafat kepemimpinan Jawa dan ingin menjadi pemimpin yang berhasil menegakkan kebenaran untuk memerangi kebathilan. Bukankah Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa; “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”.
Wassalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh