Jakarta, 31 Maret 2021 – Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
“Filsafat Ilmu : Orientasi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis Keilmuan”
Filsafat didefinisikan secara etimologis berasal dari dua kata yaitu philos/philein yang berarti cinta atau teman, dan sophos/Sophia yang berarti kebijaksanaan. Sehingga secara sederhana filsafat itu sendiri diartikan sebagai cinta kebijaksanaan. Sedangkan definisi menurut Terminologi yang paling saya dapat pahami dari beberapa definisi yang ada di buku yaitu bahwa filsafat merupakan penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan. Sementara Filsafat Ilmu merupakan sebuah refleksi kritis dan mendasar atas perkembangan ilmu.
Dalam pandangan Sidi Gazalba filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistemati, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakikat segala sesuatu yang ada. Hal ini menunjukan terdapat tiga ciri pokok dalam filsafat yaitu unsur berpikir menggunakan akal, tujuan dari pemikiran tersebut, serta ciri yang terdapat dalam pemikiran tersebut mendalam. Berfilsafat dimulai dari menyangsingkan segala hal dari persoalan sederhana hingga fundamental, dari hal inilah maka filsafat mengubah dunia dengan munculnya gagasan bernalar yang mendekonstruksi atas kenyataan.
[Ontologi : Sebuah Pencarian Hakikat]
Istilah ontology berasal dari bahasa Yunani, To On Hei On yang berarti “Yang-ada sebagai yang-ada (a being as being). Objek dari antologi adalah sesuatu yang ada. Terdapat banyak pengertian secara termonologi dari kata Ontomologi salah satunya mengartikan bahwa ontology adalah cabang filsafat yang menyelidiki status realitas sesuatu. Misalnya persepsi kita tentang sebuah objek. Apakah objek tersebut bersifat nyata atau ilusi. Terdapat beberapa aliran dalam antologi antara lain kenyataan bersifat kealaman (naturalism), kenyataan bersifat benda mati (materialism), kenyataan bersifat kerohanian (idealisme), Yang sungguh ada kecuali tuhan dan Malaikat berupa bahan dan bentuk (Hylomorfisme), segenap pertanyaan mengenai “kenyataan” makna (empirisme logis).
[Epistemologi : Hakikat Pengetahuan dan Pengetahuan Ilmiah]
Mempunyai pengetahuan berarti mempunyai kepastian bahwa apa yang dinyatakan di dalam pernyataan-pernyataan tersebut sungguh-sungguh benar atau sungguh-sungguh merupakan halnya. Terdapat 4 hal mendasar yang menjadi komponen epistemology yaitu antara lain sumber pengetahuan, metode pengetahuan, struktur pengetahuan dan validitas pengetahuan. Jenis- jenis pengetahuan antara lain :
- Empirisme : pengetahuan melalui pengalaman
- Rasionalisme : sumber pengetahuan terletak pada akal
- Kritisisme : berasal dari epistemology empirisme dan rasionalisme. Epistemology rasionalis selalu bersifat apriori, tanpa didahului pengalaman. Empiris selalu bersifat aposteori yakni lingkup kebenarannya terbatas dan selalu memberi pengetahuan baru.
Salah satu isu penting dalam pengetahuan adalah menguji kebenaran pengetahuan. Terdapat sepuluh teori kebenaran yaitu kebenaran korespondensi (kesesuaian yang dibuktikan langsung), koherensi (preposisi saling berhubungan dengan pernyataan lain yang berbicara tentang objek pengetahuan), pragmatis (bernilai benar jika praktis bagi subjek berpengetahuan), sintaksis (benar jika menggunakan bahasa yang sesuai norma), semantic, kebenaran dekskripsi, logis berlebihan (tidak perlu penjelasan), consensus (kesepakatan bersama), otoritarianisme, dan musyawarah mufakat.
[Epistemologi :Dasar-dasar Filsafat Ilmu]
Ruang lingkup filsafat ilmu adalah mempertanyakan kembali secara pasti mengenai landasan-landasan serta asas-asas yang memungkinkan ilmu memberikan pembenaran pada dirinya sendiri serta apa yang dianggapnya benar. Secara umum fokus filsafat ilmu yaitu menanyakan kembali objek kajian ilmu, metode dan logika ilmu serta apalah ilmu bernilai bebas atau tidak. Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan melalui landasan-landasan berikut :
- Landasan Ontologis : pengembangan ilmu artinya titik tolak penelaahan ilmu pengetahuan didasarkan atas sikap dan pendirian filosofis yang dimiliki ilmuan
- Landasan Epistemologis : titik tolak penelaahan ilmu didasarkan alas cara dan prosedur dalam memperoleh kebenaran
- Landasan Aksiologis : merupakan sikap etis yang harus dikembangkan seorang ilmuan.
Pengetahuan sendiri diklasifikasikan menjadi dua yaitu pengetahuan ilmiah dan non ilmiah. Perbedaan kedua pengetahuan ini terletak pada tujuannya dimana pengetahuan ilmiah bertujuan untuk mendeksripsikan, mengeksplanasi serta memprediksi. Sementara tujuan dari pengetahuan non ilmiah bertujuan untuk bertahan dalam kehidupan sehari-hari. Cara memperolehnya pun berbeda ilmiah melalui metodis dan objektif sementara non ilmiah melalui warisan dan tradisi.
[Aksiologi Ilmu Pengetahuan]
Menurut sudut pandang etis pemisahan antara etika dan ilmu menimbulkan sebuah bencana kemanusiaan global. Contoh konkret dimana ketika ilmu dipisahkan dari etika yaitu terjadinya global warming yang merupakan bukti nyata perkembangan ilmu dan teknologi. Masa depan manusia sangat bergantung pada ketulusan para tenokrat, ilmuwan, etikawan bahkan para filsuf yang saling menyapa dan terbuka dalam menyelesaikan problema.
Heuristik adalah suatu jalan untuk menangani masalah secara ilmiah yang selalu mendahului ilmu. Heuristic berfungsi sebagai jembatan yang menunjukan hubungan mutlak ilmu dengan pengertian dan sikap di luar ilmu. Masalah moral semakin nyata perlu dihadapi dengan menggunakan pendekatan lintas disiplin yang mengandaikan percaturan antar disiplin ilmu. Etika terapan ini dicoba untuk menjembatani teori yang cukup abstrak dengan masalah moral yang konkret dalam praktis kehidupan.
Dilema manusia ketika dihadapkan pada ilmu, teknologi dan moral yaitu bahwa konsep pengetahuan manusia bersifat pribadi dan bertanggung jawab dengan untaian penjelajahan pada ambang batas ketidakpastian yang tiada akhirnya. Dilema ini memiliki dua dimensi yaitu mengahalalkan semua cara dan menjadikan kita buta kuasa serta semaunya. Setidaknya dilema ini dapat diselesaikan dengan dua cara yakni mengaitkan kembali berbagai disiplin keilmuan serta mendialogkan filsafat dan etik dengan ilmu sebagai sarana pengambilan keputusan etik.
(Dr. Mohammad Anas, M.Phill & Ilhamuddin Nukman, S.Psi., MA)
Wassalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh